Bagaimana kalau menagih utang?

Namun, kembali lagi, bagaimana dengan cara yang ditempuh pihak penagih utang untuk mendapatkan haknya?

"Kalau orang yang utang yang ditagih, mungkin cara menagihnya yang membuat orang itu nggak nyaman. Dibentak dan sebagainya. Memang yang salah yang tidak membayar utang, tapi kalau dibentak ya mungkin jadi jatuhnya tidak nyaman.

Akhirnya bukannya dia membayar, tetapi malah dia lebih marah lagi," jelas dia.

Terakhir, dia menyebut adanya dorongan seseorang untuk mempertahankan harga dirinya di depan orang lain.

Ada kalanya, seseorang merasa terinjak dan perlu memberikan respons tertentu agar harga dirinya tetap terjaga.

Dalam kondisi tersebut, terkadang orang kehilangan daya kendali atas apa yang ia ucapkan.

"Jadi pride orang, harga diri orang itu kadang-kadang membuat orang mengeluarkan kata-kata yang nanti setelah itu mungkin dia bisa merasa 'aduh nyesel juga ngomong gitu'. Tapi pada saat itu, rasa harga diri kalau terusik jadi kayak gitu, apalagi kalau masalahnya di depan umum," pungkas Rose. (*)

Baca Juga: Isu Kesehatan Mental, Benarkah Gen Z Mulai Tinggalkan Smartphone?

TEMPO.CO, Jakarta - Perilaku judi online dapat memicu gangguan kesehatan mental, bahkan bisa berujung depresi. Demikian menurut psikolog di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Mirta Yolanda.

"Tidak hanya dari sisi psikologis, judi online juga berdampak pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat," kata Yolanda di Tanjungpinang, Kamis, 10 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebut judi dalam aspek psikologis mengacu pada suatu hal atau rangkaian yang sering kali diulang, khususnya untuk melakukan judi online. Siklusnya bermula dari tahap ketertarikan, keterlibatan, lalu semakin kecanduan, dan akhirnya memunculkan suatu dampak negatif bagi penjudi tersebut.

Menurut Yolanda, biasanya orang pertama kali bermain judi online karena ada penguatan positif, di mana ada kemenangan atau hasil positif awal dari perilaku judi online yang diperoleh sehingga merasa ada kepuasan dan akhirnya memunculkan dorongan untuk terus berjudi untuk mencapai sensasi yang sama. Padahal, hal itu adalah kesalahan kognitif atau kesalahan pola pikir penjudi online yang merasa bisa mengontrol permainan tersebut namun sebenarnya hanya ilusi saja dari kontrol yang diyakininya.

"Karena ada kesalahan kognitif itulah seseorang ingin melakukan judi online secara terus menerus. Tujuannya ingin mendapatkan sensasi bahagia tadi, yaitu kemenangan," ujarnya.

Dampak kesehatan mentalYolanda mengatakan ada beberapa dampak buruk judi online pada kesehatan mental seperti hilang kontrol, menghabiskan waktu dan uang, serta memicu stres, dan kecemasan ketika kalah. Bahkan, dampak stres dan kecemasan itu bisa berujung depresi karena muncul perasaan bersalah, menyesal, dan putus asa yang kemudian bisa saja mengarah pada tindakan bunuh diri akibat kalah berjudi online.

Stres dan kecemasan yang tidak segera ditangani akan memicu tindakan isolasi sosial, di mana orang lebih menjauhkan diri dari lingkungan sosial, teman, keluarga dan kerabat karena menghabiskan diri di depan layar ponsel saja. Ia mengatakan tidak mudah memberikan edukasi terhadap orang-orang yang sudah tercebur ke judi online, apalagi sudah kecanduan berlebihan.

Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memberikan kesadaran akan risiko dan bahaya judi online, antara lain memberikan pemahaman jika judi bisa memperburuk mental hingga menimbulkan kecemasan berlebih, ekonomi terganggu, serta merusak hubungan sosial. Selain itu, bisa juga merekomendasikan konsultasi kepada psikolog agar masalah perilaku judi online bisa teratasi.

"Para pelaku judi online memerlukan dukungan dari orang-orang maupun lingkungan terdekat guna membantu mereka keluar dari perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan mental tersebut," papar Yolanda.

Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan tak kurang dari 197.000 anak Indonesia terlibat judi online sepanjang 2024. Anak-anak yang terpapar judi online berada di rentang usia 11-19 tahun.

Psikolog Irma Gustiana mengamini bahwa remaja punya rasa ingin tahu yang besar. Karena itu, godaan untuk ingin mencoba judi online terkadang bisa muncul. Namun, ia menegaskan dampak judi online bisa berbuntut panjang.

Ganggu Kesehatan Mental

Irma mengingatkan, judi online mengganggu kesehatan mental remaja. Sebab, judi online pada dasarnya akan menciptakan ketergantungan atau kecanduan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, judi online pada dasarnya hanya memberikan reward sesaat. Saat melakukan judi online, terlebih menang, hormon dopamine dirilis di otak.

'Hormon senang' ini memicu anak remaja yang terlibat judi online untuk kembali merasakan efek senang dengan kembali berjudi kendati sempat kalah dan kembali kalah berkali-kali.

Harapannya, ia bisa menang, mendapat keuntungan finansial, menutupi kerugian, dan merasakan kesenangan lagi. Sedangkan jika tidak berjudi lagi, sang anak jadi merasakan kecemasan.

Kecenderungan tersebut berkaitan dengan konsep gambler's fallacy. Irma menjelaskan, gambler's fallacy terjadi saat penjudi percaya ia akan menang karena sudah berkali-kali kalah.

"Pelepasan hormon dopamine menimbulkan euforia, happy, seneng banget. Akibatnya, otak akan (memicu penjudi online) melakukan pola yang sama (kembali berjudi). Biasanya, kalau sudah di level awal, akan ada peningkatan. Penasaran," kata Irma dalam gelar wicara pemutaran film Kemenangan Sejati di CGV fX, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Dalam film tersebut, Gio (Muzakki Ramdhan) juga terjebak pada gambler's fallacy saat masih duduk di bangku SMA. Kendati sudah kalah judi, ia masih mencoba mencari uang kesana-kemari demi bisa merasakan menang judi lagi.

"Bicara judi online, ada gambler fallacy. Untung-untungan. 'Sekarang gapapa deh saya rugi, pasti besok saya beruntung.' Pasti ada seperti itu. Seperti di film, nyoba lagi, nyoba lagi, karena apa? Sekarang gagal, (berpikir) besok dapat lagi, padahal besoknya nggak dapat," imbuh Irma.

Irma menegaskan, aktivitas menang-kalah pada judi online pun memicu stres finansial.

"(Kepikiran) gimana caranya bisa mendapatkan uang sehingga saya bisa melakukan aktivitas perjudian kembali," ucapnya.

Relasi dengan sosial pun terdampak judi online. Irma mencontohkan, pada film Kemenangan Sejati, tindakan-tindakan Gio yang ketergantungan judi online membuat hubungan dengan teman dan keluarga jadi jauh.

"Hubungan pertemanan, hubungan dengan keluarga jadi jauh, karena pasti ada rasa malu, rasa bersalah ke keluarga, sehingga ini membuat dia melakukan aktivitas ini lagi," ucapnya.

Irma mengatakan ketergantungan pada judi online juga berisiko memicu anak dan remaja melakukan tindak kriminalitas demi mendapatkan uang modal untuk kembali berjudi.

"Jadi masuk ke ranah hukum. Jadi memang kompleks sekali (masalah judi online ini)," ucapnya.

Saat seorang anak hendak keluar dari lingkaran judi online, rasa cemas pun bisa kembali muncul. Kondisi yang disebut 'gejala putus' ini berisiko membuat sang anak melakukan judi online lagi.

Untuk itu, ia mengingatkan agar pelajar dan masyarakat tidak mencoba judi online. Sebab, mencoba judi online dan lebih-lebih menang, kendati hanya berawal dari penasaran, bisa memicu otak jadi ketergantungan.

"Setiap kalian menolak dan tidak mau melakukan aktivitas judi online, sebetulnya kalian sedang membangun masa depan yang lebih baik dan lebih bahagia," pungkasnya.

Umumnya di Indonesia, usia masuk sekolah dasar (SD) di Indonesia yaitu antara 6 sampai 7 tahun. Namun, sejatinya kesiapan anak masuk sekolah itu tidak ditentukan dari usia saja. Lalu, lebih baik masuk SD umur berapa? Simak penjelasannya menurut psikolog di bawah ini. Usia Sebaiknya Anak Masuk SD Psikolog Universitas Indonesia (UI), Rose Mini Agoes Salim, M.Psi, mengatakan bahwa usia kesiapan anak masuk sekolah tiap individu akan berbeda. "Ada yang usia 5 tahun sudah matang, ada yang baru 6 tahun, bahkan 7 tahun," kata Rose dalam webinar pada akun Youtube Direktorat Guru PAUD dan Diknas Kemdikbud RI, pada Maret 2022 lalu. "Kalau stimulasi bagus, anak pasti matang ke sekolah. Kenapa usia 7 tahun matang? Karena itu diambil pada usia kematangan rata-rata," tambahnya. Artinya jika diambil dari usia kematangannya, idealnya rata-rata anak masuk SD adalah umur 7 tahun. Hal yang Harus Dipersiapkan Ketika Anak Mau Masuk SD Selain faktor usia dan kematangan, psikolog Rose Mini juga menjelaskan hal-hal lainnya yang perlu dipersiapkan sebelum anak masuk SD. 1. Mengetahui Aspek Kesiapan Sekolah Sebelum anak masuk SD, Rose mengimbau untuk para orang tua memahami aspek-aspek kesiapan sekolah pada anak. Adapun aspek kesiapan sekolah yang dimaksud adalah: Aspek Fisik - Motorik kasar - Motorik halus Bahasa - Perkenalan diri - Bernyanyi - Bercerita - Menjawab pertanyaan Kognitif - Mengenal sesuatu - Mengenal warna - Mampu mengelompokkan benda - Mengetahui angka - Membedakan bentuk Sosial-Emosional - Tidak terlalu bergantung dengan orang tua - Mampu menolong orang/temannya - Menunjukkan rasa setia kawan - Bermain interaktif - Berperilaku sesuai norma - Menghargai perbedaan Kemandirian - Bisa makan sendiri - Memakai baju sendiri - Bisa teratur pada rutinitas (Contohnya jam bangun tidur)

2. Memberi Stimulasi Rose juga menjelaskan bahwa sebelum anak masuk SD, orang tua perlu memberikan stimulasi ke anak. "Jangan pernah berhenti untuk menstimulasi. Paling mudah adalah dengan bermain. Anak suka stimulasi dengan bermain, karena hal ini disenangi anak tanpa didasari keterpaksaan," ungkap Dosen UI tersebut. Ia menjelaskan bahwa bermain adalah cara belajar yang paling alami, yang juga bisa mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak. Dengan bermain juga bisa menambah wawasan, skill, dan membentuk perilaku anak. Pasalnya, ketika bermain, anak akan belajar berbagai konsep. "Bermain itu menyiapkan diri (anak) dalam kehidupan," ungkapnya. Syarat Masuk SD Aturan usia anak masuk SD telah diatur dalam Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang PPDB TK, SD, SMP, SMA, SMK pada pasal 7. Dilansir laman resmi Direktorat Sekolah Dasar Kemdikbud, berikut adalah beberapa persyaratan masuk jenjang SD:

Dampak Anak Sudah Masuk SD tapi Belum Siap Alasan kenapa usia masuk SD 7 tahun yaitu karena dilihat dari kematangan dan stimulasi-stimulasi yang diberikan orang tua. Namun perlu diingat, sebagaimana yang disampaikan Rose tadi bahwa sejatinya kematangan masuk sekolah tidak dilihat dari usia saja. Namun, jika anak masuk SD dalam kondisi yang belum siap sepenuhnya akan berdampak saat dia bersekolah nantinya. Berikut adalah beberapa akibatnya:

Itu tadi penjelasan mengenai umur sebaiknya anak masuk SD beserta alasannya menurut psikolog. Semoga penjelasan di atas membuat orang tua paham sebelum memutuskan untuk menyekolahkan anak. Intinya, usia bukanlah faktor utama kematangan dan kesiapan anak masuk sekolah. Sumber: https://www.detik.com/edu/sekolah/d-7341146/umur-ideal-anak-masuk-sd-menurut-psikolog-ini-hal-yang-perlu-disiapkan

HAI-Online.com– Kalian pernah ngalamin kejadian ketemu orang yang berbuat salah, tapi pas diingetin justru jadi galak dan marah-marah?

Hal kayak gini biasanya bisa ditemui pada beberapa kasus seperti saat menagih utang hingga mengantre di tempat umum.

Namun sebenarnya kenapa orang cenderung lebih galak dan agresif saat mereka ditegur atau diingatkan, sih? Ternyata ada ada alasan di balik kebiasaan tersebut lho, jika ditilik dari aspek psikologisnya.

Baca Juga: Bukan Marah ke Kurir, Begini Cara Komplain Barang COD yang Tidak Sesuai Pesanan

Psikolog Rose Mini Agoes Salim ngasih pandangannya terhadap fenomena yang kerap terjadi di masyarakat tersebut.

Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat orang yang melakukan kesalahan justru marah saat ada pihak lain yang menegur kesalahannya.

"Pertama, orang kalau ditegur di depan orang lain, rasanya pasti lebih tidak nyaman, malu ya," kata Rose saat dihubungi Kompas.com, Minggu (30/5/2021).

Baca Juga: Ghosting, Perilaku Ngeselin yang Ternyata Nggak Cuma Berlaku di Ranah Percintaan

"Kalau kita ditegur orang yang tidak kita kenal, ego kita jadi lebih tinggi keluarnya. Terus merasa 'siapa elu kok ngingetin gue?" bisa seperti itu. Akibatnya, dia merasa terusik,' tutur dosen Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Cara menegur yang baik

Cara menegur yang baik

Peran dari semua pihak diperlukan untuk menghindari situasi semacam itu, termasuk pihak yang akan memberikan teguran.

Rose mengatakan, apabila teguran dilakukan dengan cara yang baik, pemilihan nada bicara juga diksi kalimat yang baik, maka respons negatif berupa emosi nggak terkendali semacam itu dapat dihindarkan.

"Hal ini sebetulnya bisa dilakukan kalau kita.. tapi kadang-kadang orang yang menegur kan 'Gimana sih lo, antri dong!" itu yang membuat orang naik darah," ia mencontohkan.

"Tapi kalau 'Mohon maaf ya Pak, ini saya sudah duluan. Kalau nggak salah, antri itu harus dari belakang sana Pak, tidak bisa langsung potong dari sini. Terima kasih', kalau informasinya seperti itu, dengan nada datar, mungkin penyampaian kita juga bisa membantu untuk tidak membuat orang itu marah," lanjut dia.

Pakar psikologi di bidang moral juga pendidikan ini juga mengingatkan, ketika kita hendak menegur orang lain yang melakukan kesalahan, nggak perlu kita sampaikan dengan cara berteriak-teriak.

Hal yang perlu diingat, melakukan teguran di muka umum saja sudah membuat seseorang merasa nggak nyaman, bagaimana pula jika teguran itu dilakukan dengan nada tinggi di hadapan banyak orang.

"Nggak perlu teriak-teriak di depan orang segitu banyaknya, jadi masih menghargai dia sebagai manusia," ujar Rose.

Baca Juga: Waspada Bahaya Gaslighting, Bisa Turunin Kepercayaan Diri Lho!

Buat Kata Sandi Biar Akunmu Terlindungi

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Lainnya

Edukasi Terakhir SD SMP SMA/SMK D1 D3 S1/D4 S2 S3

Profesi Belum Bekerja Pelajar Mahasiswa Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Penyedia Jasa (Guru/Dokter/Lawyer/Peneliti/Lainnya) Freelance Karyawan Swasta Pegawai Negeri Sipil BUMN

Profile.marital Belum Menikah Menikah Cerai Mati Cerai Hidup

Agama Islam Protestan Katolik Hindu Budha Lainnya

Pilih Negara Afghanistan Åland Islands Albania Algeria American Samoa Andorra Angola Anguilla Antarctica Antigua and Barbuda Argentina Armenia Aruba Australia Austria Azerbaijan Bahamas Bahrain Bangladesh Barbados Belarus Belgium Belize Benin Bermuda Bhutan Bolivia Bosnia and Herzegovina Botswana Bouvet Island Brazil British Indian Ocean Territory Brunei Darussalam Bulgaria Burkina Faso Burundi Cambodia Cameroon Canada Cape Verde Cayman Islands Central African Republic Chad Chile China Christmas Island Cocos (Keeling) Islands Colombia Comoros Congo Congo, The Democratic Republic of the Cook Islands Costa Rica Cote D'Ivoire Croatia Cuba Cyprus Czech Republic Denmark Djibouti Dominica Dominican Republic Ecuador Egypt El Salvador Equatorial Guinea Eritrea Estonia Ethiopia Falkland Islands (Malvinas) Faroe Islands Fiji Finland France French Guiana French Polynesia French Southern Territories Gabon Gambia Georgia Germany Ghana Gibraltar Greece Greenland Grenada Guadeloupe Guam Guatemala Guernsey Guinea Guinea-Bissau Guyana Haiti Heard Island and Mcdonald Islands Honduras Hong Kong Hungary Iceland India Indonesia Iran Iraq Ireland Isle of Man Israel Italy Jamaica Japan Jersey Jordan Kazakhstan Kenya Kiribati Korea, DPR Korea, Republic of Kuwait Kyrgyzstan Laos Latvia Lebanon Lesotho Liberia Libya Liechtenstein Lithuania Luxembourg Macao Macedonia, The Former Yugoslav Republic of Madagascar Malawi Malaysia Maldives Mali Malta Marshall Islands Martinique Mauritania Mauritius Mayotte Mexico Micronesia, Federated States of Moldova, Republic of Monaco Mongolia Montserrat Morocco Mozambique Myanmar Namibia Nauru Nepal Netherlands Netherlands Antilles New Caledonia New Zealand Nicaragua Niger Nigeria Niue Norfolk Island Northern Mariana Islands Norway Oman Pakistan Palau Palestine Panama Papua New Guinea Paraguay Peru Philippines Pitcairn Poland Portugal Puerto Rico Qatar Reunion Romania Russian Federation Rwanda Saint Helena Saint Kitts and Nevis Saint Lucia Saint Pierre and Miquelon Saint Vincent and the Grenadines Samoa San Marino Sao Tome and Principe Saudi Arabia Senegal Serbia and Montenegro Seychelles Sierra Leone Singapore Slovakia Slovenia Solomon Islands Somalia South Africa South Georgia and the South Sandwich Islands Spain Sri Lanka Sudan Suriname Svalbard and Jan Mayen Swaziland Sweden Switzerland Syrian Arab Republic Taiwan, Province of China Tajikistan Tanzania, United Republic of Thailand Timor-Leste Togo Tokelau Tonga Trinidad and Tobago Tunisia Turkey Turkmenistan Turks and Caicos Islands Tuvalu Uganda Ukraine United Arab Emirates United Kingdom United States of America United States Minor Outlying Islands Uruguay Uzbekistan Vanuatu Vatican Venezuela Vietnam Virgin Islands, British Virgin Islands, U.S. Wallis and Futuna Western Sahara Yemen Zambia Zimbabwe

Pilih Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau Dki Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara P A P U A Papua Barat

Dapatkan Berita Terkini khusus untuk anda dengan mengaktifkan notifikasi Antaranews.com

KOMPAS.com – Baru-baru ini, masyarakat kerap mengaitkan game online, khususnya kategori simulasi, dengan judi online. Sebab, meski tidak menggunakan uang layaknya judi online, beberapa pemain game online tetap bertaruh dengan uang sungguhan di luar platform.

Kondisi tersebut memunculkan stigma buruk terhadap game online. Padahal, bermain gim memiliki manfaat positif.

Psikolog Wahyu Aulizalsini menjelaskan bahwa bermain gim dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengurangi stres jika dimainkan dengan santai dan dinikmati, serta melatih keterampilan teknologi bagi pemain.

“Di era digital, game online sangat diminati. Oleh sebab itu, masyarakat perlu kontrol diri yang tepat agar tidak kecanduan, tapi justru memberikan dampak positif,” ucap Wahyu dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (11/6/2024).

Dia juga berharap agar pengguna tetap mematuhi peraturan dengan memainkan gim sesuai usia.

Sebagai upaya untuk mengatur industri gim di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika Nomor 2 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Gim.

Peraturan itu bertujuan untuk mengklasifikasikan gim berdasarkan usia pengguna dengan kriteria jelas tentang konten yang dapat diakses oleh setiap kelompok usia.

Klasifikasi gim tersebut juga didasarkan pada berbagai faktor, termasuk konten yang berpotensi merugikan, seperti rokok, alkohol, narkotika, kekerasan, dan judi.

Adapun gim yang melibatkan unsur simulasi dan/atau kegiatan pertaruhan atau peruntungan akan dikategorikan untuk usia 18 tahun ke atas. Penerbit gim juga diwajibkan melakukan klasifikasi ulang saat terjadi pembaruan konten.

Pakar Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa regulasi yang menetapkan usia minimal 18 tahun untuk bermain gim dengan unsur taruhan tanpa keterlibatan uang adalah langkah penting.

“Namun, yang paling krusial adalah memastikan bahwa tidak ada keterlibatan uang serta tidak melanggar norma sosial, agama, dan kesusilaan yang berlaku,” ucap Trubus.

Dia juga menyoroti pentingnya jaminan usia untuk mencegah remaja bermain gim yang tidak sesuai sambil menggarisbawahi bahwa pengawasan harus dilakukan secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan, baik oleh pemain maupun platform penyedia.

“Peraturan ini (sudah) baik dan penting untuk memberikan batasan yang jelas antara platform judi online dan game online. Semoga masyarakat dapat memahami perbedaannya dan tidak terjebak dalam aktivitas perjudian,” tegas Trubus.

Untuk diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah melakukan tindakan proaktif dengan memblokir sekitar 1,5 juta situs terkait perjudian sejak Juli 2022 hingga Maret 2024.

JAKARTA - Masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan istilah indigo.

Indigo itu bisa diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki manusia untuk bisa melihat hal-hal tak kasat mata. Di masyarakat pun kemampuan ini kerap dianggap sebagai sebuah pemberian alami dari Tuhan, bukan sebuah gangguan atau kelainan.

Sementara itu, ilmu psikologi melihatnya dengan sangat berbeda, Indigo dianggap sebagai bentuk halusinasi yang diderita oleh mereka yang memiliki kerentanan genetis terhadap ketakutan dan kecemasan.

Orang-orang dengan rasa takut dan cemas sangat mudah untuk berhalusinasi, karena ketakutan dan bayangan akan makhluk gaib yang ada di dimensi bawah sadar terbawa ke alam sadar. Kondisi ini akhirnya membuat individu tersebut seolah mendengar bisikan atau melihat sesuatu yang tidak nyata.

Psikolog Klinis sekaligus Dosen di Universitas Muhammadiyah Cirebon, M. Azka Maulana, mengatakan bahwa individu dengan kerentanan genetis atau yang disebut indigo harus menjalani sesi psikoterapi untuk mengendalikan alam bawah sadarnya.

Hal ini bertujuan untuk mengelola rasa takut dan cemas sehingga tidak mudah mengalami halusinasi, sekaligus membantu penderitanya  mengenal batasan rasional dan tidak.

“Individu yang mengalami kerentanan tersebut sebaiknya menjalani sesi psikoterapi. Apalagi jika diikuti dengan gejala histeria maka perlu penanganan medis. Ingat, itu menandakan individu tersebut tidak sehat,” kata Azka dihubungi Validnews, Senin (23/5).

Ia melanjutkan, histeria adalah gangguan mental yang ditandai dengan berhalusinasi, mengalami kejang, lost of control, berteriak, bahkan berperan sebagai sosok lain, di masyarakat kerap disebut kesurupan.

Jika ditelaah secara mendalam kerentanan genetis baik terhadap visual atau auditory diprakarsai oleh pengalaman traumatis saat kecil. Seperti bagaimana lingkungan menanamkan value tentang keberadaan makhluk tak kasat mata.

Selain itu, adanya tindakan orang dewasa yang menakut-nakuti anak dengan keberadaan makhluk yang menyeramkan dapat menciptakan pengalaman traumatis yang akan tersimpan di alam bawah sadar dan terbawa hingga dewasa.

Ketika seseorang tumbuh dengan rasa takut maka bayangan atau halusinasi dalam alam bawah sadarnya akan semakin tampak nyata, seolah ia mampu melihat dengan mata telanjang.Baca juga : Psikologi Memandang Kesurupan Sebagai Gangguan Mental

Azka menambahkan, ia cukup menyayangkan sikap masyarakat terhadap penderita kerentanan genetis atau bahkan histeria, di mana masyarakat justru berbondong-bondong memercayai apa yang dilihat dan diucapkan individu dengan label indigo tersebut.

Padahal penderita kerentanan seharusnya mendapatkan bantuan agar tidak menimbulkan risiko gangguan mental yang lebih parah.

“Orang yang katanya indigo  ini butuh sesi terapi bukan malah omongannya kita telan mentah-mentah akhirnya kita sama-sama memiliki irrational beliefs. Kita harus paham bahwa mereka punya kerentanan bukan malah petuahnya kita ikuti,” tutupnya.

HAI-Online.com– Kalian pernah ngalamin kejadian ketemu orang yang berbuat salah, tapi pas diingetin justru jadi galak dan marah-marah?

Hal kayak gini biasanya bisa ditemui pada beberapa kasus seperti saat menagih utang hingga mengantre di tempat umum.

Namun sebenarnya kenapa orang cenderung lebih galak dan agresif saat mereka ditegur atau diingatkan, sih? Ternyata ada ada alasan di balik kebiasaan tersebut lho, jika ditilik dari aspek psikologisnya.

Baca Juga: Bukan Marah ke Kurir, Begini Cara Komplain Barang COD yang Tidak Sesuai Pesanan

Psikolog Rose Mini Agoes Salim ngasih pandangannya terhadap fenomena yang kerap terjadi di masyarakat tersebut.

Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat orang yang melakukan kesalahan justru marah saat ada pihak lain yang menegur kesalahannya.

"Pertama, orang kalau ditegur di depan orang lain, rasanya pasti lebih tidak nyaman, malu ya," kata Rose saat dihubungi Kompas.com, Minggu (30/5/2021).

Baca Juga: Ghosting, Perilaku Ngeselin yang Ternyata Nggak Cuma Berlaku di Ranah Percintaan

"Kalau kita ditegur orang yang tidak kita kenal, ego kita jadi lebih tinggi keluarnya. Terus merasa 'siapa elu kok ngingetin gue?" bisa seperti itu. Akibatnya, dia merasa terusik,' tutur dosen Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.