Strategi Penyimpanan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) untuk Keselamatan dan Keamanan
Memastikan keamanan dan keselamatan dalam penyimpanan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah prioritas utama. Berikut adalah pedoman untuk penyimpanan berbagai jenis B3, sesuai dengan sifat dan risikonya:
Panduan Komprehensif Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Bagaimana cara mengelola Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dengan cara yang efektif, aman, dan mematuhi regulasi yang ada? Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001, terdapat beberapa langkah kunci yang harus diikuti oleh pengusaha dan/atau pekerja dalam mengelola B3 di lingkungan kerja.
Mengenal Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Dalam Industri Pembangkit Listrik
Penulis: Redny Tota Sihite, JFT PEDAL Madya
Kebutuhan Energi Listrik Sumberdaya energi diperlukan manusia untuk memenuhi keperluan transportasi, penerangan, perhotelan, mendukung keperluan pendidikan,mendukung jalannya administrasi pemerintahan, penggerak mesin-mesin diindustri, dan pemenuhan bahan baku industri.Sektor industri dalam operasionalnya banyak menggunakan gas, batubara, dan listrik. Pada tahun 2050 diperkirakan kebutuhan ketiga jenis energi tersebut terus meningkat menggantikan BBM yang harganya lebih mahal. Sektor komersial dan rumah tangga sebagian besar energinya dipenuhi oleh listrik. Kebutuhan energi sektor rumah tangga meningkat dari 116 juta SBM (Setara Barel Minyak) pada tahun 2016 menjadi 483 juta SBM pada tahun 2050, dengan pangsa terbesar adalah listrik diikuti LPG (BPPT, Energi Outlook 2018).
Selama 34 tahun ke depan terjadi pergeseran dominansi kebutuhan listrik, dari sektor rumah tangga ke sektor industri. Hal ini terjadi karena penggunaan listrik semakin efisien seiring dengan ketersediaan teknologi peralatan listrik rumah tangga yang semakin kompetitif. Sebaliknya, listrik didorong untuk memenuhi keperluan produktif sektor industri, seperti industri tekstil, kertas, pupuk, logam dasar besi, baja, dan lainnya. (BPPT, Energi Outlook 2018).
Energi dan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling berkaitan. Bagaimana energi yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan serta bagaimana lingkungan hidup dapat menghasilkan energi yang berguna untuk menopang kehidupan.Energi yang digunakan dalam suatu bisnis proses industri harus mempertimbangkan aspek ekonomi dan dampak terhadap lingkungan, sebagaimana dimandatkan dalam misi RPJMN 2015-2019 berdasarkan Perpres No. 2 Tahun 2015 adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan.
Pembangkit listrik digerakkan antara lain dengan menggunakan tenaga air, uap, minyak bumi, gas dan batubara. Dampak terhadap lingkungan dari kegiatan pembangkit listrik yang sering menjadi sorotan dalam pengoperasiannya adalah penggunaan bahan bakar yang memberikan keluaran berupa emisi gas rumah kaca sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Namun ada hal lain yang belum menjadi perhatian yaitu penggunaan bahan kimia yang masuk dalam klasifikasi sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). B3 digunakan sebagai bahan utama dalam proses produksi energi listrik maupun sebagai bahan penolong atau pada utilitas.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 58 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Selanjutnyadi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 disebutkan pada pasal 4 bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Prinsip dari pengelolaan B3 adalah untuk mengendalikan pencemaran dan meminimalkan dampak negative terhadap kesehatan manusia dan lingkungan akibat dari penggunaan B3.
Di dalam tulisan ini akan diuraikan gambaran penggunaan B3 pada kegiatan pembangkit listrik, contoh beberapa jenis B3 yang digunakan dan upaya pengelolaan B3 yang perlu diketahui oleh industri pembangkit listrik untuk memenuhi ketentuan peraturan perundangan.
Penggunaan B3 Pada Proses Utama Pembangkit Listrik Tidak semua pembangkit listrik menggunakan bahan kimia pada proses utamanya, misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Mesin penggerak yang digunakan adalah turbin air untuk mengubah energi potensial air menjadi kerja mekanis poros yang akan memutar rotor generator untuk menghasilkan energi listrik. Air sebagai bahan baku PLTA dapat diperoleh dari sungai atau waduk yang secara langsung disalurkan untuk memutar turbin. PLTA hanya menggunakan energi gravitasi air sebagai penggerak. Bahan kimia hanya digunakan untuk kegiatan perawatan mesin-mesin seperti produk pelumas.
Untuk memberikan gambaran penggunaan bahan kimia atau B3 pada proses utama berikut ini diberikan contoh penggunaannya di Pembangkit Listrik Tenaga Gas/Uap (PLTG/U) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Jenis B3 yang digunakan dapat saja berbeda untuk tujuan penggunaan yang sama.
a. PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap) Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) merupakan kombinasi antara PLTG dan PLTU. PLTGU dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar minyak dan atau bahan bakar gas. Gas panas atau gas bekas proses PLTG, selanjutnya dimanfaatkan untuk proses pemanasan air di Heat Recovery Steam Generator (HRSG) untuk memproduksi uap yang akan digunakan sebagai media penggerak turbin uap yang seporos dengan generator. Tahapan proses produksi listrik di PLTGU sama halnya dengan proses produksi di PLTG. Untuk menghasilkan Gas/Gas Uap, digunakan bahan baku air yang dapat berasal dari air tawar maupun dari air laut. Bahan baku air laut perlu diolah terlebih dahulu agar tidak merusak mesin-mesin pembangkit listrik. Beberapa tahapan proses yang menggunakan bahan kimia adalah sebagai berikut:
• Proses Desalinasi: Air laut dirposes di unit desalinasi yang bertujuan untuk menghilangkan mineral sehingga tingkat conductivity turun pada tingkat tertentu. Bahan kimia yang digunakan dalam proses ini antara lain sodium bisulphite untuk meminimalisir kadar Chlorine yg masuk, antiscalant untuk meminimalisir terbentuknya kerak dan anti foam yang berfungsi untuk mencegah terbentuk buih, sehingga dihasilkan air baku yang siap digunakan.
• Proses Demineralisasi: Air baku dari proses desalinasi kemudian di proses demineralisasi untuk menghilangkan kandungan mineral sehingga diperoleh tingkat conductivityyang diharapkan. Bahan kimia yang digunakan dalam proses yaitu Hydrochloric acid (HCl) dan Sodium hydroxide (NaOH) yang berfungsi untuk regenerasi resin.
• Proses di Unit Boiler: Boiler yang beroperasi pada unit PLTGU berfungsi menghasilkansuperheated steam dengan bantuan panas dari sisa gas buang unit PLTG. Dalam pengoperasiannya,Ammonia digunakan untuk menaikkan pH air yang diinjeksi ke condenser, Carbohydrazide/Hydrazine digunakan untuk menghilangkan kadar oksigen dalam air yang diinjeksi ke aerator yang berguna untuk mencegah korosi pada boiler, dan Trisodium phosphat (TSP) sebagai penyangga pH di boiler.
• Proses di Sistem Air Pendingin: Sebelum masuk ke kondensor air pendingin dilewatkan melalui saringan kemudian diklorinasi. Uap air dari HRSG yang telah dipakai untuk menggerakkan steam turbin generator dimanfaatkan kembali dengan cara mengembunkannya kembali melewati kondensor (alat penukar panas), dengan menggunakan media air pendingin. Bahan kimia yang digunakan adalah Sodium hypochlorite untuk mecegah terbentuknya biota laut di sistem air pendingin.Bahan ini biasanya diproduksi sendiri dengan menggunakan generator chlorine.
b. PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Proses pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) memiliki kesamaan dengan pembangkit listrik tenaga uap yaitu menggunakan uap untuk memutar turbin yang selanjutnya akan menghasilkan listrik. Perbedaannya adalah pada sumber uap yang digunakan. Pada pembangkit listrik tenaga panas bumi, uap didapatkan dari brine (air panas) dari reservoir yang diakses menggunakan sumur injeksi, seperti halnya pada sumur bor minyak. Setelah melewati separator, uap yang dihasilkan akan disalurkan ke final scrubber untuk dimurnikan yang kemudian digunakan untuk memutar turbin. Pada proses ini bahan kimia digunakan pada pengolahan air kondensat, yaitu berupa sodium hydroxide (NaOH) untuk menetralkan pH air. Selain itu digunakan jugaSodium hypochlorite (NaOCl) dan Sodium bromide (NaBr) untuk menghilangkan algae/lumut.
Penggunaan B3 pada IPAL, Kegiatan Pemeliharaan, dan Analisa Laboratorium a. Penggunaan B3 pada IPAL Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau waste water treatment plant (WWTP), adalah sebuah struktur yang dirancang untuk memisahkan/membuang pengotor biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air tersebut dapat digunakan pada aktivitas yang lain.
IPAL yang difungsikan untuk mengolah air limbah dari kegiatan PLTGU dan PLTP menggunakan B3 antara lain: Sodium hypochlorite berfungsi untuk menurunkan kandungan COD, Hydrochloric acid (HCl) untuk menetralkan air jika pH cenderung basa, Sodium hydroxide (NaOH) untuk menetralkan air jika pH cenderung asam, Poly alumnuim chloride (PAC) sebagai coagulantdan floculantuntuk membentuk flok agar padatan terlarut dapat menggumpal dan lebih mudah diendapkan membentuk sludge.
b. Penggunaan B3 untuk Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan terhadap peralatan produksi dan peralatan pendukung lainnya dilakukan secara periodik oleh perusahaan. Dalam kegiatan pemeliharaan mesin-mesin, perusahaan pembangkit listrik menggunakan produk-produk bahan kimia seperti pelumas, bahan pendingin, kegiatan pengelasan dan lainnya. Produk-produk tersebut juga memiliki kandungan bahan kimia yang masuk dalam klasifikasi B3 seperti Argon danChlorodifluoromethane.
c. Penggunaan B3 untuk Analisa Laboratorium Dalam kegiatan pembangkit listrik ditemukan juga penggunaan B3 pada analisa laboratorium untuk keperluan seperti pengujian kualitas air, kualitas air laut dan kualitas pengolahan air limbah. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa laboratorium juga memiliki klasifikasi sebagai B3. Walaupun jumlah penggunaan B3 untuk keperluan analisa laboratorium tidak terlalu banyak, tetapi perlu dikelola dengan baik dan benar. Bahan Kimia sebagai B3 pada Kegiatan Pembangkit LIstrik PP 74 Tahun 2001 mengklasifikasikan B3 sebagai mudah meledak (explosive); pengoksidasi (oxidizing); sangat mudah sekali menyala (extremely flammable); sangat mudah menyala (highly flammable), mudah menyala (flammable), amat sangat beracun (extremely toxic); Sangat beracun (highly toxic), beracun (moderately toxic); berbahya (harmful); korosif (orrosive), bersifiat iritasi (irritant); berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment); karsinogenik (carcinogenic); teratogenik (teratogenic); mutagenik (mutagenic).Berdasarkan klasifikasi tersebut kita dapat mengetahui apakah bahan kimia yang digunakan masuk dalam kelompok B3 atau tidak. Informasi tersebut dapat kita peroleh dariLembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) yang seharusnya selalu disertai dalam setiap pembelian bahan kimia.
Data bahan kimia yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi penggunaan B3 di industri seringkali hanya berupa nama dagang, nomor CAS (chemical abstacs service) tetapi tidakdilengkapi dengan LDKB. Untuk mengetahui nama bahan kimianya maka perlu dilakukan cek silang dengan referensi yang tersedia di berbagai media. Salah satu referensi yang dapat digunakan adalah melalui website European Chemicals Agency (ECHA) yang merupakan database berupa informasi klasifikasi dan pelabelan zat yang didaftarkan, yang diterima dari produsen dan importir yang telah diteliti oleh berbagai lembaga. Selain ECHA, terdapat referensi lainnya seperti Toxic Substances Control Act (TCSA) di Amerika Serikat yang memiliki daftar bahan kimia baru atau yang sudah ada.
Dari kombinasi data primer dan beberapa bahan kimia yang dapat dicek silang melalui sistem ECHA, dibawah ini disajikan beberapa jenis B3 yang digunakan pada proses utama pembangkit listrik maupun untuk kegiatan pendukung lainnya.
Tabel 1. Jenis B3 Yang Digunakan Pada Kegiatan Pembangkit Listrik
Dari tabel diatas dapat kita kenali berbagai B3 yang digunakan pada bisnis proses pembangkit listrik. Mungkin belum semua B3 bahan masuk dalam daftar tersebut, namun kita dapat memastikan bahwa dengan adanya penggunaan B3 maka perlu disusun kebijakan maupun langkah-langkah yang dibangun untuk mengelola B3.Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa sebagian jenis B3 telah diatur dalam Lampiran PP 74 tahun 2001 dan sebagian lagi tidak, namun perlakuan terhadap seluruh B3 patut mengikuti kaidah yang berlaku agar meminimalkan dampak negatif dari penggunaan B3.
Ketentuan Pengelolaan B3 Secara ringkas berikut ini adalah beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan B3. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci tetapi diharapkan dapat menjadi petunjuk bagi perusahaan pembangkit listrik yang belum mengetahui mengenai kewajiban dalam pengelolaan B3 seperti diatur dalam PP Nomor 74 Tahun 2001,antara lain: 1. Melakukan registrasi B3 untuk B3 yang diimpor pertama kali, dan notifikasi B3untuk impor B3 yang masuk dalam daftar B3 terbatas dipergunakan. Registrasi B3 dilakukan untuk masing-masing jenis B3 maupun untuk jenis B3 yang sama tetapi diimpor dari negara yang berbeda. Registrasi B3 diberlakukan terhadap B3 yang dipergunakan dan notifikasi B3 dilakukan terhadap B3 yang terbatas dipergunakan sesuai Lampiran PP 74 Tahun 2001. 2. Menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) dalam pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3. LDKB merupakan berkas data yang mengandung informasi mengenai sifat-sifat suatu bahan. LDKB sangat penting untuk mengetahui penanganan terhadap suatu bahan dengan aman. 3. Menggunakan pengangkut yang telah memiliki izin sebagai pengangkut B3. Izin sebagai pengangkut B3 diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan atas rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.B3 yang diperoleh dari penyedia bahan kimia lokal, maka perusahaan perlu untuk mengetahui apakah B3 diangkut menggunakan pengangkut B3. 4. Pengemasan B3 harus sesuai klasifikasi bahan. 5. Pada kemasan B3 harus diberikan simbol dan label B3 serta dilengkapi dengan LDKB.Simbol dan label B3 telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol dan Label B3. 6. Pada tempat penyimpanan B3 diberikan simbol dan label B3. 7. Pada tempat penyimpanan B3 harus dilengkapi dengan sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3. 8. B3 yang kadaluarsa dan/atau tidak memenuhi spesifikasi dan atau bekas kemasan, harus dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah B3. 9. Mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat, dan atau memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar yang diakibatkan oleh B3. 10. Menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 kepada instansi yang bertanggungjawab.
Simbol B3 sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2008
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,Indonesia Energy Outlook 2018, 2018.
BPPT 2016, Outlook Energi Indonesia 2016.
https://echa.europa.eu/information-on-chemicals/cl...
LABOR, https://www.osha.gov/SLTC/etools/ics/nrs.html;
Direktorat Pengelolaan B3-Dirjen PSLB3, KLHK (2016), Laporan Tahunan Direktorat Pengelolaan B3 tahun 2016.
Direktorat Pengelolaan B3-Dirjen PSLB3, KLHK (2017), Laporan Tahunan Direktorat Pengelolaan B3 tahun 2017.
UU Nomor 32 Tahun 2009, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001, Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2008, Tata Cara Pemberian Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun;
B3 dan POPs b3 Pengelolaan b3 ditpb3 bahan kimia pembangkit listrik
Limbah B3 adalah salah satu jenis limbah yang perlu diidentiikasi dan dikelola. Limbah B3 sendiri adalah Bahan Berbahaya dan Beracun atau sering disingkat dengan B3 yaitu zat, energi atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi atau jumlahnya dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Limbah B3 berdasarkan bentuknya terbagi menjadi limbah padat, cair dan gas. Mengingat sifatnya yang berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3 perlu dilakukan oleh pelaku usaha yang menghasilkan limbah B3.
Pengelolaan limbah B3 terdiri dari penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan. Untuk memastikan pengelolaan limbah B3 dilakukan dengan tepat dan mempermudah pengawasan maka setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 wajib memiliki izin sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Mau tau info seputar K3L? Nantikan artikel terkait K3L selanjutnya, ya!
Pentingnya Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dengan Tepat
Pentingnya pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang benar tidak dapat diremehkan karena kecelakaan terkait B3 dalam industri sering terjadi akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran pekerja mengenai cara pengelolaan B3 yang sesuai. Insiden yang berkaitan dengan B3 biasanya melibatkan faktor manusia, metode atau prosedur kerja yang tidak tepat, serta penggunaan peralatan atau bahan yang kurang aman.
Kesalahan dalam pengelolaan B3 dapat berakibat fatal, tidak hanya bagi pekerja itu sendiri tetapi juga bagi lingkungan sekitar, melalui pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, penerapan prosedur pengelolaan B3 yang benar dan sesuai dengan regulasi adalah suatu keharusan untuk menghindari risiko kecelakaan kerja, menjaga kesehatan pekerja, serta melindungi lingkungan dari dampak negatif penggunaan B3.
Pentingnya Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) atau Material Safety Data Sheet (MSDS) dalam Pengelolaan B3
LDKB atau MSDS merupakan dokumen esensial yang menyediakan informasi komprehensif mengenai bahan kimia, termasuk karakteristik fisik dan kimianya, potensi bahaya, instruksi penanganan yang aman, dan langkah-langkah yang harus diambil saat terjadi keadaan darurat. Dokumen ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai upaya untuk menjamin keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan.
Menurut peraturan yang berlaku, pembuatan MSDS menjadi tanggung jawab utama dari produsen bahan kimia berbahaya, sebagaimana diatur dalam Standar Komunikasi Bahaya 29 CFR 1910.1200 oleh OSHA. Dokumen ini harus dibuat dan disertakan dalam setiap siklus distribusi bahan kimia, mulai dari produksi, pengangkutan, penyimpanan, hingga penggunaan akhir.
MSDS harus mencakup informasi detail tentang:
Prinsip Utama dalam Pengangkutan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Pengangkutan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan salah satu proses kritis yang memerlukan penanganan khusus untuk memastikan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan. Berikut adalah beberapa aspek kunci yang harus diperhatikan dalam pengangkutan B3:
Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut B3 harus memenuhi standar khusus yang ditetapkan, termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan sesuai dengan jenis dan karakteristik B3 yang diangkut. Hal ini untuk memastikan bahwa B3 diangkut dengan aman dan mencegah risiko kebocoran atau kecelakaan.
Pengemudi kendaraan pengangkut B3 harus memiliki kualifikasi khusus, termasuk pelatihan tentang penanganan B3, keselamatan jalan, dan protokol darurat. Asisten pengemudi, yang bertugas mendukung pengemudi dalam memastikan pengangkutan B3 berjalan lancar, juga harus memenuhi kriteria serupa dan tidak diizinkan mengemudi.
Rute yang digunakan untuk mengangkut B3 harus dipilih dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk jenis jalan, tingkat risiko bahan yang diangkut, dan kerawanan lingkungan. Hindari melalui daerah padat penduduk, zona risiko tinggi, dan area yang kondisinya tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan pengangkut B3.
Pengangkutan B3 dapat dilakukan baik dalam bentuk curah maupun non-curah. Untuk B3 curah, penggunaan kemasan besar atau kendaraan khusus adalah suatu keharusan. Sedangkan B3 non-curah dapat diangkut dengan kemasan yang aman dan terlindungi, dengan memperhatikan kombinasi kemasan dalam dan luar serta jenis bahan pembungkus.
Regulasi dan panduan yang lebih detail tentang pengangkutan B3 telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk SK Dirjen Perhubungan Darat No.SK.725/AJ.302/DRJD/2004. Mematuhi regulasi ini tidak hanya memastikan keamanan pengangkutan tetapi juga membantu dalam pelestarian lingkungan serta mencegah terjadinya kecelakaan yang dapat berakibat fatal.
Pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) didefinisikan dalam PP No. 74 Tahun 2001 sebagai substansi yang dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan pada lingkungan, serta membahayakan lingkungan, kesehatan manusia, serta keberlangsungan hidup makhluk hidup lain, berdasarkan sifat, konsentrasi, atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara itu, menurut definisi dari OSHA (Occupational Safety and Health of the United States Government), B3 merupakan bahan yang berisiko tinggi menyebabkan gangguan kesehatan manusia, kerusakan lingkungan, atau pencemaran, berdasarkan kondisi fisik atau sifat kimianya.
%PDF-1.4 %Çì�¢ 5 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌU䙚Yšë™)èš[‚hsK#¸*—|®@ ù|Gendstream endobj 6 0 obj 58 endobj 12 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌU䙚›Yê™)èš[šisK#¸*C—|®@ Ìtendstream endobj 13 0 obj 60 endobj 18 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌU䙚[XèY(èš[šë™Ì-�઀,—|®@ tendstream endobj 19 0 obj 59 endobj 24 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌUÈâ›[(˜š›(¥*„+äq*€ø& ºæ–†æzf05PFf .ù\�` –øOendstream endobj 25 0 obj 75 endobj 30 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌU䙚˜ë)èš[šë™Ì-�ઌ�\ò¹� hendstream endobj 31 0 obj 60 endobj 36 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌU䙚YèY(èš[šë™Ì-�ઌ-\ò¹� �wendstream endobj 37 0 obj 60 endobj 42 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌUä™Zè™(èš[šë™Ì-�àªLL\ò¹� Ïhendstream endobj 43 0 obj 60 endobj 48 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌUÈâ›[X(˜š›(¥*„+äq*€øf–zf ºæfz&0UPͦ .ù\�` Á Äendstream endobj 49 0 obj 77 endobj 54 0 obj <> stream xœ+T0Ð3T0 A(�œË¥d®�^ÌU䙚šéY(èš[šë™Ì-�àªLÍ\ò¹� %tendstream endobj 55 0 obj 60 endobj 4 0 obj <> /Contents 5 0 R >> endobj 11 0 obj <> /Contents 12 0 R >> endobj 17 0 obj <> /Contents 18 0 R >> endobj 23 0 obj <> /Contents 24 0 R >> endobj 29 0 obj <> /Contents 30 0 R >> endobj 35 0 obj <> /Contents 36 0 R >> endobj 41 0 obj <> /Contents 42 0 R >> endobj 47 0 obj <> /Contents 48 0 R >> endobj 53 0 obj <> /Contents 54 0 R >> endobj 3 0 obj << /Type /Pages /Kids [ 4 0 R 11 0 R 17 0 R 23 0 R 29 0 R 35 0 R 41 0 R 47 0 R 53 0 R ] /Count 9 >> endobj 1 0 obj <> endobj 7 0 obj <>endobj 9 0 obj <> endobj 10 0 obj <> endobj 8 0 obj <>stream ÿØÿÛ C ")$+*($''-2@7-0=0''8L9=CEHIH+6OUNFT@GHEÿÛ C !!E.'.EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEÿÀ r£" ÿÄ ÿÄ µ } !1AQa"q2�‘¡#B±ÁRÑð$3br‚ %&'()*456789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyzƒ„…†‡ˆ‰Š’“”•–—˜™š¢£¤¥¦§¨©ª²³´µ¶·¸¹ºÂÃÄÅÆÇÈÉÊÒÓÔÕÖ×ØÙÚáâãäåæçèéêñòóôõö÷øùúÿÄ ÿÄ µ w !1AQaq"2�B‘¡±Á #3RðbrÑ $4á%ñ&'()*56789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyz‚ƒ„…†‡ˆ‰Š’“”•–—˜™š¢£¤¥¦§¨©ª²³´µ¶·¸¹ºÂÃÄÅÆÇÈÉÊÒÓÔÕÖ×ØÙÚâãäåæçèéêòóôõö÷øùúÿÚ ? õÊ(¢€ (¢€$k,l’(da‚È"²t¯iz-Ä“ØÛå�`±b؃'�ÅlQE€©™iks-Ž´1M72Hˆ©«@ÒÑŠ (¢Š (¢Š (¢Š Áñm³Üi1²ÚÅ‚t–Kp2d@y w<ôö®v÷Å֚݃èúF—s$Ó�$# E‹ÐœÓðuÓx¡ufÓPhm²ëÍRX•À^sœñŽ•ËÚÞø²êsÆ‹<«Ö5‘Y‡ÔÍ"–Ç * ¸÷>´µ‰áë}rtu˘'ÞTÄ!è¼|݇?ZÛ¦HQE QEÅx¥5(|Q¦Üé/j·2@ñ3�æ s·¯^ çZÑ&ñÚ ]NæÌÃo6+wRCvc#¯¯o;&‡S·Ô¢Ô4Í=/eû9·BXfÝÉÎü¿§ëT´_ Þiwšd¾R‹…g–òèÌImÙýØ^ý‰>¼ÐWCº®SÆ·VÖ’is¤�O/ œœ`çèk«'k˜Öž÷Z¯á�FÝ^ K*ºº¯ÆhÜç Öô¨õ5‡ÂÛI-Äj²É®ÂHå~^¾˜Åz,6°Û´IJÛܪ�¹½O©®!¼9â-NâÚ-gZ·–$YŒq( Ç~z×yHlÏÖtÓ©ØS¨ë,R�®§*1\®¥Œõ7²›û>deš2WåïÉcÁ~PkkÇÍmáKÙmçh$ uÈ<ºƒÈú×�Eƒš6{Ý\Ì@ÝUÉ=ùÛŽ¾¦˜‘ëZ]ªÙi–¶ÑÈ$XaD?ˆŒþ4š‹+YO –4–H_nöÇn¿AšM!¡m"ɃcyÛ´c>ø¦jú%ž·n!½�p\íqÃ&F S‹Ó<+ÞZYˈa„æ-åpW ÷îÎ:Ší´�7û*ÁmÌ3îgy9vc’y÷4ý3L¶Òl’ÒÍ6B™ÀÎO<“VèŠ)ƒƒ‘@… ô¤gTb Î9¥=(£¯µ;”PEŠ (¢‚ Å QE QE fë©#è—ËBiZ ]ÁŽÓ�Žõɽnjoìf²“JÓâÄP€àRÎ7šì5w¸�I¼{<ý¥`s~}§}q^g.‡§ÚhZ^·uytg¸ºVštl²d1ã#¨ rsÞ‚‘é:”Ún�iiq ’XcXtã ü…\¹™`·’W¤jX�èPðåÌך¤÷šGLîa‚듵ˆ÷?�i²‡R 8¿øY‰Sʹ€]¾ZásÛ®*ÿ …µ84m2Ò7�½ÂÈPIÉ$1-ž�Éí]PÇkh¨Š0F §RA* :P1iN)k2ÇÄZ•ìöÖfYVGò˜"°8Æâ:Ð#L{ÑXö^*Ò5×´µ¼W�I]¸ 1Ý$`þ±@ª:ž§“l³Î²2³„5Ür}ªé¬o½òiѶ—kÍЙJ$‹¸~£\÷ ™~&hH§a¸‘ñ�¢
Standar Pengemasan untuk Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Pengemasan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus dilaksanakan dengan ketat dan sesuai klasifikasi untuk menjamin keselamatan selama proses distribusi dan penyimpanan. Pentingnya penerapan standar pengemasan yang tepat disertai dengan penandaan simbol dan label pada setiap kemasan B3 tidak dapat diremehkan. Langkah ini esensial untuk memudahkan identifikasi B3 dan menginformasikan pengelolaan yang tepat untuk menghindari risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Peraturan terkait pengemasan, penandaan, dan penyediaan Lembar Data Keselamatan Bahan (MSDS) telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 3 tahun 2008. Regulasi ini memberikan pedoman jelas mengenai spesifikasi kemasan, termasuk simbol bahaya dan informasi penting yang harus tercantum pada label, sehingga memastikan semua pihak terinformasi dengan baik tentang karakteristik dan cara penanganan B3 yang aman.
Terkait dengan kondisi kemasan B3 yang rusak, ada prosedur khusus yang harus diikuti. Jika kemasan B3 mengalami kerusakan namun isi masih dapat dikemas ulang, maka tanggung jawab pengemasan ulang berada pada pihak pengedar. Sedangkan untuk B3 yang tidak dapat dikemas ulang dan berpotensi menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta membahayakan keselamatan manusia, pengedar diwajibkan untuk segera menanggulangi kondisi tersebut.
Kerusakan pada simbol dan label kemasan B3 juga harus segera ditangani dengan memberikan penandaan ulang yang sesuai. Langkah ini vital untuk memastikan bahwa informasi penting tentang B3 tetap tersedia dan dapat diakses dengan mudah oleh semua pihak yang berkepentingan.
Proses Registrasi dan Notifikasi B3
Proses registrasi B3 merupakan tahapan awal yang vital dalam manajemen B3. Regulasi menetapkan bahwa setiap penghasil dan pengimpor B3 diwajibkan untuk mendaftarkan B3 yang dihasilkan atau diimpor untuk pertama kalinya ke pihak berwenang.
Tujuan dari registrasi B3 adalah untuk mencatat dan memberikan identifikasi terhadap B3 yang beredar di Indonesia, memungkinkan pengawasan yang efektif sejak dini dan mengurangi risiko negatif terhadap lingkungan serta kesehatan manusia dan makhluk hidup lain. Tahapan registrasi meliputi dari persiapan dokumen hingga penerbitan surat registrasi oleh pihak yang berwenang.
Notifikasi B3, yang terdiri dari notifikasi ekspor dan impor, merupakan langkah penting lainnya. Setiap aktivitas impor atau ekspor B3 ke atau dari Indonesia memerlukan pengajuan notifikasi kepada pihak yang berwenang, terutama untuk B3 dengan penggunaan terbatas atau yang diimpor untuk pertama kalinya. Langkah ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.36 Tahun 2017 tentang Registrasi dan Notifikasi B3.